Sumberjaya adalah nama sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, yang pada tahun 2000 dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu, Kecamatan Sumberjaya dan Kecamatan Way Tenong. Dalam tulisan ini daerah Sumberjaya mengacu pada keadaan sebelum tahun 2000, yaitu terdiri atas 28 desa dengan total luas wilayah 54.194 hektar atau 10,9% dari total luas Kabupaten Lampung Barat. Wilayah yang berpenduduk mendekati 90,000 (pada tahun 2000) merupakan daerah produsen kopi robusta. Sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian, terutama bercocok tanam kopi dan kebun campuran. Sumbangan budidaya kopi terhadap kegiatan ekonomi penduduk tidak terbatas pada hasil produksi kopi semata, akan tetapi juga terbukanya lapangan pekerjaan di sektor perdagangan dan jasa (pengangkutan).
Budidaya kopi di Sumberjaya mengalami perkembangan pesat pada dekade 70an dan 80an. Analysis terhadap perubahan penggunan lahan, menunjukkan bahwa luas kawasan berhutan di daerah itu menurun cukup tajam pada dua dekade tersebut, yaitu dari 60% pada tahun 1970 menjadi 13% pada tahun 1990 (Ekadinata, 2002). Yang menarik adalah bahwa penurunan luas kawasan berhutan tersebut diiringi oleh perluasan kebun kopi, bahkan di dalam kawasan hutan lindung dan taman nasional. Selain itu, perluasan kebun kopi tersebut berlangsung seiring "dengan membaiknya harga kopi dunia pada waktu itu (Harga kopi Robusta pada tahun 1970 dan 1980 mencapai masing-masing US $3.26 per kg dan US $ 4.12/kg (IBRD/The Word Bank 2003. p 276).
Seolah ada hubungan antara membaiknya harga kopi dunia dengan perluasan kebun kopi di Sumberjaya. Budidaya kopi di Sumberjaya yang kebanyakan dilakukan oleh keluarga petani dengan skala kecil (kurang dari 3 ha), dimulai dari cara tradisional dengan praktek peladangan berpindah oleh para perintis etnis Semendo dari Sumatra Selatan, lebih dari satu abad yang lalu. Huitema (1935, dikutip Verbist 2000) menulis bahwa pada tahun 1880, komoditas kopi sudah dikenal di daerah ini.Bahkan salah satu desa tertua di Sumberjaya, Desa Sukajaya, adalah desa pertama di Sumberjaya yang dibangun oleh para pendatang etnis Semendo pada tahun 1891.
Pada awalnya para perintis tersebut mengubah hutan menjadi kebun kopi dengan cara tebas bakar. Pengelolaan kebun kopi dengan asupan rendah dilakukan hanya oleh tenaga kerja keluarga terbatas pada pemeliharaan tanaman kopi pada fase pertumbuhan. Mereka biasanya akan membuka kebun kopi yang baru pada saat kebun kopi yang ada sudah "melewati masa ngagung (Ngagung istilah lokal yang berarti melimpah. Dikaitkan dengan hasil kopi, istilah ngagung hanya berlaku pada saat kebun kopi mengalami produksi tertinggi sejak ditanam; biasanya terjadi pada saat tanaman kopi berumur antara 6-7 tahun.) atau kebun kopi sudah berkurang hasilnya. Jenis kopi yang dibudidayakan saat itu adalah jenis Arabica dan Liberia. Akan tetapi, karena serangan hama karat daun (blast diseases) atau Hemelia vastarix yang menghancurkan perkebunan kopi di seluruh Indonesia (Disampaikan oleh Mark Hanuzs (penulis “A Cup of Java”, 2003) dalam wawancara dengan Majalah Mingguan GATRA, No. 47 tahun IX, 11 Oktober 2003, pp 47-53), sejak tahun 1911, jenis Robusta yang dipercaya lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dari pada jenis Arabica, mulai menggantikan kedua jenis sebelumnya (Huitema, 1935).
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan pola budidaya kopi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk migran dari Jawa dan tempat-tempat lain di Provinsi Lampung, di daerah ini. Pada tahun 1920an dengan masuknya tenaga kerja wanita suku Jawa untuk pemeliharaan kebun kopi, para perintis budidaya kopi di Sumberjaya terdorong untuk memperluas kebun kopi dengan membuka hutan di Sumberjaya (Benoit et al., 1989). Pada awal tahun 1950an Sumberjaya menjadi daerah target program transmigrasi dari Biro Rekonstruksi Nasional yang memindahkan veteran perang kemerdekaan dari Jawa Barat (Kusworo, 2000). Pemindahan veteran perang ini kemudian diikuti oleh gelombang migrasi spontan dari Jawa dan daerah lain di dan sekitar propinsi Lampung. Para veteran perang dan para migran spontan tersebut memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perluasan perkebunan kopi rakyat dan pengembangan tekhnologi budidaya kopi di daerah ini. Seperti misalnya, tekhnik bercocok tanam kopi yang lebih permanen dengan cara pengelolaan tanah yang lebih baik (pengendalian gulma dan pemupukan) dan pemeliharaan tanaman kopi (pemangkasan, potong tunas dan lain sebagainya).
Perkembangan lain yang perlu dicatat adalah adanya kecenderungan untuk meningkatkan produtivitas per unit lahan dengan peningkatan intensitas pengelolaan lahan, khususnya setelah masuknya para migran suku Jawa. Misalnya : upaya konservasi tanah dengan pembuatan rorak, lubang angin maupun gulud; praktek berkebun campuran di kebun kopi dengan menanami berbagai tanaman tahunan (baik kayu ataupun buah-buahan) sebagai tanaman pelindung kopi; dan upaya peningkatan produksi kopi dengan cara memperbaiki varietas tanaman kopi melalui okulasi. Praktek-praktek tersebut selain diadopsi dari praktek pengelolaan kebun di Jawa juga dipengaruhi petugas penyuluh lapangan dari Dinas Perkebunan dan pelaksanaan program reboisasi dan penghijauan oleh dinas terkait.
Perambahan kawasan hutan lindung dan taman nasional untuk budidaya kopi juga mewarnai perkembangan budidaya kopi di Sumberjaya, dan menimbulkan masalah sosial yang serius. Upaya penyelesaian secara tuntas sulit dilakukan, bahkan upaya yang pernah dilakukan pun membuahkan persoalan baru (Kusworo, 2000; Budidarsono et al., 2000: 1-2). Usaha-usaha untuk mencegah perluasan kebun kopi ke kawasan hutan negara pernah dilakukan melalui program penghutanan kembali. Usaha ini tidak saja membuahkan perlawanan masyarakat dan "menyengsarakan penduduk (Kusworo (2000) dalam kajiannya tentang sengketa kawasan hutan di Lampung antara lain menjelaskan bahwa pada awal tahun 1980an di Sumberjaya dilancarkan program penghutanan kembali kawasan hutan lindung yang sudah digunakan penduduk untuk berkebun kopi sejak tahun 1950an dengan cara memangkas dan mencabuti pohon kopi dan menggantikannya dengan Kaliandra (Caliandra calothirsus) serta memindahkan secara paksa penduduk yang bermukim di kawasan hutan lindung), akan tetapi lebih dari itu, "usaha tersebut tidak mengurangi minat petani petani untuk tetap bercocok tanam kopi di kawasan ini. Pengalaman menunjukkan bahwa daya tarik budidaya kopi di Sumberjaya jauh lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha pemerintah untuk mencegah perluasan kebun kopi ke dalam kawasan hutan lindung. Seperti ternyata dalam krisis ekonomi antara 1998 – 2000 yang lalu, perambahan hutan untuk budidaya kopi kembali meluas dan hutan lindung yang sudah dihutankan kembali pun dibuka lagi untuk kebun kopi.
Penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan terobosan untuk menjawab persoalan pelik di atas. Surat Keputusan tersebut memberikan peluang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan negara bagi masyarakat guna pemberdayakan kehidupan mereka tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Melalui skema HKm, kegiatan pengelolan hutan negara diarahkan untuk mengoptimalkan manfaat hutan bagi kesejahteraan masyarakat secara luas melalui pemanfaatan lahan, jasa lingkungan, dan ekstraksi hasil kayu dan non kayu. Seiring dengan itu, mereka yang memperoleh manfaat dalam skema HKm, diwajibkan untuk menjaga, memperbaiki dan mempertahankan fungsi hutan lindung dengan menerapkan praktek konservasi dalam pemanfaatan kawasan hutan.
===
Daftar Pustaka
Benoit, D.; Pain, M.; Levang, P. and O. Sevin. 1989. Transmigration et Sponteneous en Indone-sia/ Transmigration and Spontaneous Migration in Indonesia : Propinsi Lampung. ORSTOM – Departemen Transmigrasi RI, Jakarta
Budidarsono, S.; Kuncoro, S. A. and T.P. Tomich. 2000. A Profitability Assessment of Robusta coffee system in Sumberjaya watershed, Lampung, Sumatra, Indonesia. Southeast Asia Policy Research Working Paper No 16. ICRAF SEA, Bogor.
Budidarsono, Suseno dan Wijaya, Kusuma (2000). "PRAKTEK KONSERVASI DALAM BUDIDAYA KOPI ROBUSTA DAN KEUNTUNGAN PETANI" World Agroforestry Centre - ICRAF SE Asia. (Tulisan ini merupakan kajian ulang hasil penelitian profitabilitas budidaya kopi di Sumberjaya yang disajikan dalam dua Laporan terpisah : Budidarsono et al. (2000) ; dan Kuncoro dan Budidarsono (2003))
Ekadinata, A.P. 2002. Deteksi perubahan lahan menggunakan citra satelit multisensor di Sumber-jaya, Lampung. Skripsi S1, Jurusan Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institute Pertanian Bogor. Bogor.
IBRD/The World Bank. 2003. Global Economic Prospect 2004, Realizing the Develop-ment Promise of the Doha Agenda. Washington DC.
Kusworo, A. 2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Bogor, Pustaka Latin. pp 101
Verbist, B.; Ekadinata, A.P. dan S. Budidarsono. 2004. Penyebab alih guna lahan dan akibatnya terhadap fungsi daerah aliran sungai (DAS) pada lansekap agroforestri berbasis kopi di Sumatra. Agrivita 26 (1): 29-38.
No comments:
Post a Comment