TRIBUNNNEWS.COM, KOTAMOBAGU - Tanaman holtikultara seperti tomat dan cabai menjadi primadona baru bagi para petani di daerah Purworejo dan Liberia, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara.
Keuntungan yang lebih besar dari tanaman tersebut membuat mereka beralih dari kopi.
Hujan yang mengguyur daerah Modayag, Selasa (10/4/2012) membuat Zukidi urung ke kebun. Warga Desa Modayag Timur ini terpaksa berteduh di Toko Sendy yang menjual obat-obatan dan pupuk bagi tanaman.
Sambil mengisap rokok, dia bercengkerama dengan Ridho Widodo yang sedang menunggu kendaraaannya diperbaiki di bengkel depan toko.
Bahan obrolan tak jauh dari soal tanaman dan harga jual tomat. Zukidi (59) mengatakan, mulai menggeluti tanaman holtikultura sejak sekitar enam tahun lalu.
Sama seperti Ridho, mereka beralih dari berkebun kopi ke tanaman holtikultura setelah harga kopi anjlok. "Harga kopi kurang dari Rp 10 per kg. Para petani bukan mendapat untung, malah buntung. Biaya untuk perawatannya saja tak kembali," kata pria berambut ikal ini.
Para petani kemudian melihat peluang baru di holtikultura. Berbeda dengan kopi yang panen hanya setahun sekali, tanaman holtikultura seperti tomat dan cabai, bisa panen berkali-kali dalam setahun.
Harga jual komoditas tersebut pun jauh lebih baik. Dengan berat hati, Zukidi mengubah seperempat hektare lahan kopi warisan orangtuanya menjadi ladang holtikultura.
Sementara dua hektare sisanya, yang memang masih digarap oleh ibu dan adiknya, tetap untuk lahan kopi.
"Pertama kali buka lahan untuk holtikultura berat. Bukan apa-apa, karena itu warisan orangtua. Mereka senang sekali memelihara kopi," kata ayah beranak satu ini.
Namun, menurut dia, keputusan tersebut membawa keuntungan. Dia mengatakan, pernah dalam satu kali panen tomat dia mendapatkan Rp 30 juta. Setelah dipotong dengan modal kerja, pupuk dan perawatan lainya, tersisa Rp 15 juta.
"Bahkan Ridho, dalam satu kali panen langsung membeli mobil bak terbuka," kata Zukidi seraya menunjuk mobil bak terbuka warna putih yang berada di bengkel.
Tak heran, dia lebih serius menekuni tanaman holtikultura walaupun untuk pemeliharaan dan perawatan lebih berat dibandingkan kopi.
Meski holtikultura jadi primadona, bukan berarti tanpa kendala. Listaryono, warga Desa Purworejo Tengah, mengatakan, permasalahan yang mendera petani adalah pemasaran dan harga jual.
"Para petani bisa mereguk untung lebih banyak, jika pasarnya diperluas lagi. Kami harap pemerintah bisa membantu, jangan sampai kami juga dipermainkan tengkulak," kata Listaryono.
Source: Tribunnews.com
No comments:
Post a Comment